Hello, Memory [Part 9]
Ketika Maura
menginjakkan kakinya di lantai kelas, saat itu juga napasnya terbuang
panjang. Ruang kelas yang memuat sekitar 30 orang siswa ini bukannya
sempit, kotor dan tidak bagus, hanya saja semua bangkunya sudah terisi
penuh.
Kalau nanti bertemu
dengan Dewa lagi, Maura bakal protes. Gara-gara mengobrol dengannya tadi
dia jadi tidak bisa memilih tempat duduk.
Tapi untungnya karena
tinggal di negara Indonesia yang dimana siswa siswinya selalu
mengosongkan bangku di barisan depan, Maura pun bersyukur, karena itu
justru menguntungkan buatnya. Maura akan lebih bisa berkonsentrasi
belajar kalau duduknya di depan. Karena kalau sudah di barisan nomer
tiga dari depan sampai ke belakang, fokusnya akan mudah hilang.
Tapi ternyata memang
nasibnya yang masuk ke kelas nyaris bel masuk begini, sisa bangku di
barisan depan pun sudah habis saking penuhnya murid kelas ini. Untung
saja tidak ada yang sampai harus lesehan di bawah.
Maura menghentikan
pandangannya ke arah sisa bangku kosong satu-satunya di barisan depan
tengah papan tulis. Senyumnya pun mengembang. Itu tempat strategis
untuknya.
Namun lagi-lagi Maura harus mendesah kecewa karena partner bangku sisaannya itu ternyata bukan seorang cewek. Wishlist nya gagal dia capai lagi untuk ketiga kalinya.
Ada apa sih ini? Dalam sepanjang hidup dia belum pernah gagal mencapai cita-citanya sampai tiga kali beturut-turut begini.
There something wrong with her or with her destiny?
Dengan terpaksa
karena-nggak-mungkin-lesehan akhirnya Maura mendudukkan bokongnya di
bangku sisa itu. Bersebelahan dengan cowok berkacamata yang hanya
menunduk terpaku pada lembaran-lembaran bukunya.
Dari ketebalannya itu, Maura yakin itu pasti bukan buku cetak pelajaran. Buku cetak matematika pun tidak setebal itu.
Setelah menaruh tasnya
di belakang kursi, Maura duduk diam dengan tangan di atas meja. Menatap
lurus ke papan tulis, sesekali ke kanan dan kiri ke arah teman
sekelasnya yang sudah saling mengenal satu sama lain. Mungkin sebagian
dari mereka ada yang berasal dari kelas yang sama di kelas sepuluh atau
sebelas.
Dan sebagai murid baru
yang mendapat bonus duduk sebangku dengan cowok kutu buku, Maura hanya
bisa diam sendirian menunggu guru datang dan memulai pelajaran.
Niat hati sih pengin say hello
teman sebangkunya ini, tetapi ketika melihat kondisinya saat ini
sepertinya lebih baik tidak usah. Sebagai orang yang juga senang
membaca, Maura paham betul bagaimana rasa kekinya kalau ada orang yang
tiba-tiba mengganggu. Merusak imajenasi yang sedang khidmatnya masuk ke
dalam dunia bacaan itu. Jadi, Maura putuskan untuk tidak dulu berbicara
dengannya.
Entah siapa nama cowok kutu buku berkacamata nerd itu, badgename di seragamnya pun tak dapat Maura lihat karena posisi tubuhnya yang menunduk ke meja.
Namun jika dilihat-lihat
dari segi pandang penilaian tingkat ketampanan cowok, menurut Maura
cowok ini sebenarnya tampan. Kulitnya bersih, alisnya tebal meski
sedikit berantakan, hidungnya tak begitu mancung namun pas untuk bentuk
wajahnya, bibirnya tipis agak kemerahan, rambutnya hitam lebat meskipun
tatanannya kuno. Nilai untuk penampilannya tanpa kacamata yang Maura
berikan adalah 83. Sedikit di atas nilai yang dia beri untuk Dewa tadi.
Tapi sayangnya cowok ini lebih memilih berpenampilan culun, sehingga nilai untuknya sekarang hanya 65 menurut Maura.
Komentar
Posting Komentar