Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2016

Hello, Memory [Part 9]

Ketika Maura menginjakkan kakinya di lantai kelas, saat itu juga napasnya terbuang panjang. Ruang kelas yang memuat sekitar 30 orang siswa ini bukannya sempit, kotor dan tidak bagus, hanya saja semua bangkunya sudah terisi penuh. Kalau nanti bertemu dengan Dewa lagi, Maura bakal protes. Gara-gara mengobrol dengannya tadi dia jadi tidak bisa memilih tempat duduk. Tapi untungnya karena tinggal di negara Indonesia yang dimana siswa siswinya selalu mengosongkan bangku di barisan depan, Maura pun bersyukur, karena itu justru menguntungkan buatnya. Maura akan lebih bisa berkonsentrasi belajar kalau duduknya di depan. Karena kalau sudah di barisan nomer tiga dari depan sampai ke belakang, fokusnya akan mudah hilang. Tapi ternyata memang nasibnya yang masuk ke kelas nyaris bel masuk begini, sisa bangku di barisan depan pun sudah habis saking penuhnya murid kelas ini. Untung saja tidak ada yang sampai harus lesehan di bawah. Maura menghentikan pandangannya ke arah sisa b

Hello, Memory [Part 8]

Detik berikutnya, Dewa segera membawa dirinya berenang ke tepi kembali untuk segera tersadar dari kedua mata yang dalamnya tak berdasar itu. Kepalanya menggeleng-geleng seolah mencoba mengenyahkan apa yang melintas di kepalanya. Dewa lantas tersenyum dan mengembalikan wajah jenakanya seperti semula. "Ohya?!" Dewa nampak pura-pura kaget. Telunjuk dan ibu jarinya mengusap dagunya, seolah berpikir serius. "Wah..., gue yakin kalau kita berdua bersatu, dunia ini pasti bakal penuh dengan kegelapan!" serunya mendramatisir. Lagi-lagi Maura kembali tertawa sampai rasanya otot-otot pipinya terasa pegal. Dia merasa sangat senang berteman dengan seseorang seperti Dewa. Tingkahnya yang konyol dan apa adanya adalah tipe teman yang tidak akan membosankan sepanjang masa. Dewa kemudian berdiri, sepertinya hendak masuk ke kelasnya. Maura pun ikut berdiri ketika matanya melirik jarum panjang di jam tangannya yang sebentar lagi menuju ke angka dua belas. "U

Hello, Memory [Part 7]

"Jadi gue bener, kan?" tanya Dewa lagi dengan tampang polos yang menggelikan. "Ya ya ya, gue nggak punya alasan untuk tidak membenarkan lo," jawab Maura. "Tapi sebenernya nama gue bukan cuma satu kata, kok. Di belakangnya ada nama bokap gue. Tapi dari kecil kita sepakat untuk nggak menyisipkan nama itu di setiap pendaftaran sekolah. Biar gue bisa berdiri sendiri tanpa bantuan nama itu," lanjut Maura lagi. Dewa mengangguk-angguk dengan wajah sok seriusnya. "Gitu ya? Boleh juga tuh." Lalu dia kembali bertanya, masih dengan pertanyaan konyol yang sudah jelas sekali tidak Maura tau jawabannya. "Lo tau arti nama gue, nggak?" tanyanya. "Emangnya penting?" canda Maura. Dewa tertawa kecil. "Nggak juga sih, tapi siapa tau nanti masuk di soal ujian." Maura kembali terkekeh sambil geleng-geleng kepala. Ajaib nih cowok! "Dan karena gue baik, takut lo nanti nggak bisa jawab soal ujian, makanya gue kasih

Hello, Memory [Part 6]

"Wuih keren! Kelas unggulan, dong," kata Maura berusaha memuji tulus. Cowok itu kembali mengangkat bahunya. Gerakan tubuhnya benar-benar cuek dan santai. Seolah di dunia ini hanya dialah orang satu-satunya yang tidak memiliki masalah apapun. "Apa benefitnya sih kelas unggulan? Heran gue sama sekolah-sekolah." Maura mengernyit. "Kenapa gitu?" "Rasis. Buat apa dipisah jadi kubu-kubu gitu? Sama aja bikin yang pintar makin pintar, yang bego makin makin bego," jawabnya sambil terkekeh. "Kalau semuanya dicampur bukannya jadi lebih bagus? Yang pintar jadi bantu yang kurang pintar. Iya, kan?" Sekilas Maura tersenyum. Di lubuk hatinya sebenarnya menyetujui ucapan si cowok yang pembawaannya santai ini. Tetapi, di satu sisi dia juga kurang setuju. Bukannya lingkungan penentu segalanya? Sama aja kayak kalau mau jadi orang baik, ya nggak bisa kumpul bareng sama preman, batin Maura. Namun dia memilih untuk tidak menyuarakannya. Ber

Hello, Memory [Part 5]

Keluar dari mobil Pras, Maura memberikan senyuman terpaksanya karena harus ikut bersama Pras, bukan Finda. Finda mendadak harus mencari sesuatu di tumpukan kardus dari rumah lama mereka yang sejak kemarin belum sempat dirapikan. Padahal, Maura masih dalam aksi ngambek dengan Pras. Belum lagi sebelumnya Pras benar-benar hendak turun dari mobil dan mengantarnya sampai ke dalam kelas. Takut anak kesayangannya itu kesasar, katanya. Yang bener aja. Memangnya ini di hutan rimba?! "Liat sendiri nama Adek di mading ya, cari kelas sendiri, cari bangku sendiri. Dan tetap fokus! Oke, dek? Senyum dooong," ucap Pras dengan kedipan mata dibalik kaca mobil yang dibuka hampir setengahnya. "Papa!!" seru Maura (lagi dan lagi). Pras tertawa lagi sebelum akhirnya menyuruh supir menjalankan mobil kembali. Setelah mobil Pras berlalu, Maura pun berjalan dengan santai menuju gerbang sekolahnya. Setelah berjalan kaki sekitar 300 langkah, Maura tiba di depan pintu g

Hello, Memory [Part 4]

Pagi ini Maura duduk di samping Finda dengan wajah tertekuk. Piring di atas meja berisi nasi goreng buatan Bi Kokom hanya lima suap masuk ke mulutnya. Gantinya segelas susu cokelat sudah habis dia teguk. Gadis yang pagi ini menggerai rambut hitamnya itu masih dalam aksi ngambek karna wishlistnya yang pertama gagal dia capai. Pras tetep ngotot tidak memperbolehkannya membawa motor ke sekolah. Pras justru malah menawarinya membawa mobil. Hell no!! Ma suk ke gerbang sekolah dengan Jazz merah baru hadiah ulang tahunnya kemarin agaknya terlalu mencolok untuk ukuran murid baru. Maura hanya ingin menjadi anak 'biasa' saja di kesan pertama masuk sekolah barunya. "Ayo berangkat!" Pras bangkit dari kursi sambil membawa tas kerjanya setelah menyelesaikan sarapannya. Sedangkan Maura masih bergeming. Gadis itu duduk dengan wajah tertekuk dan tangan kanan menyanggah dagu. "Adek, ayo berangkat, dek!" "Papa!!" seru Maura cepat. Pras terk

Hello, Memory [Part 3]

Bogor, 2008. Di sofa empuk depan tv berlayar 39 inch yang menayangkan serial kartun kesukaannya, Maura duduk masih dengan baju tidur dan rambut diikat asal. Cuci muka dan menyikat gigi pun belum dia lakukan. Di minggu pagi ini, Maura sengaja ingin langsung menonton Spongebob Squarepants di rumah barunya. Kemarin sore Maura, Mama dan Papanya, beserta Bi Kokom (pembantu di rumahnya) pindah ke rumah baru ini. Salah satu rumah mewah yang berada di Rancamaya. Meninggalkan kota kembang yang tanahnya sudah dia pijak sejak kecil, ke kota hujan yang asri ini. Entah apa proyek baru yang dibangun Pras sehingga membuat mereka terpaksa pindah ke sini. Tetapi Maura sama sekali tidak masalah. Di mana pun itu asal ada Mama dan Papanya dia tak akan pernah merasa keberatan. Kecuali di neraka. Ada Mama Papa disana pun gue tetep nggak mau, batinnya sambil bergidik. "Ra, nanti tolong anter Bi Kokom ke depan komplek , ya, sayang. Kasihan Bibi masih belum hafal jalan di sini, takut n

Hello, Memory [Part 2]

"Maura!" Panggilan di belakang tubuhnya membuat Maura membalikkan badannya. Sambil tersenyum, cowok yang berdiri di depannya mengulurkan tangan kanannya ke arah Maura. Di tangan kirinya, ada sebuah kotak berbungkus kertas kado berwarna pink . "Hai, Aris!" Maura menerima uluran tangan itu sambil tersenyum. "Baru dateng, ya?" Cowok berkacamata bingkai hitam itu mengangguk. Kado yang di bawanya kemudian diberikan kepada Maura. "Selamat ulang tahun, ya," ucapnya. "Itu kado spesial buat kamu." Maura menerimanya sambil mengucapkan terimakasih. Bukannya tidak peka, Maura sangat sadar jika Aris masih menyimpan perasaan untuknya. Di tatapan mata itu, Maura masih bisa menemukan cinta. Sayangnya, bagi Maura semua sudah berakhir. Cerita cinta mereka sudah ditutup. Sekarang, Aris hanya seorang teman, sama seperti temannya yang lain. Tak peduli seberapa sering Aris mencoba memenangkan hati Maura lagi, Maura tetap mengabaikanny

Hello, Memory [Part 1]

Bandung, 2008. "Satu... dua... tiga...!!!" Happy Birthday, Maura! Happy Birthday, Maura! Happy Birthday, dear Maura! Happy Birthday, to you... "Yeayyy! Tiup lilinnya, Ra!" Maura hanya mampu tersenyum sambil mengangguk. Matanya melirik ke kanan dan kiri dimana Mama dan Papanya berdiri mengapitnya. Di sekelilingnya, berkumpul teman sekolahnya yang tengah menunggu Maura meniup lilin berangka 17 itu dengan wajah berseri. Malam ini pesta ulangtahunnya yang ke-17. Tepat satu hari sebelum kepindahannya. Matanya lalu kembali beralih ke depan. Kue bertingkat tiga yang dilapisi krim strawberry itu menjulang di depannya. Kue mewah yang biasa dipajang di pesta-pesta pernikahan. Dengan krim strawberry kesukaannya yang dipesan Papanya langsung dari bakery ternama di Jakarta. " Make a wish dulu, sayang." Mamanya berbisik di telinga Maura. Dia pun mengangguk lalu memejamkan kedua matanya. Di dalam hati, merapal beberapa doa dan harapan di u