Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Hello, Memory [Part 9]

Ketika Maura menginjakkan kakinya di lantai kelas, saat itu juga napasnya terbuang panjang. Ruang kelas yang memuat sekitar 30 orang siswa ini bukannya sempit, kotor dan tidak bagus, hanya saja semua bangkunya sudah terisi penuh. Kalau nanti bertemu dengan Dewa lagi, Maura bakal protes. Gara-gara mengobrol dengannya tadi dia jadi tidak bisa memilih tempat duduk. Tapi untungnya karena tinggal di negara Indonesia yang dimana siswa siswinya selalu mengosongkan bangku di barisan depan, Maura pun bersyukur, karena itu justru menguntungkan buatnya. Maura akan lebih bisa berkonsentrasi belajar kalau duduknya di depan. Karena kalau sudah di barisan nomer tiga dari depan sampai ke belakang, fokusnya akan mudah hilang. Tapi ternyata memang nasibnya yang masuk ke kelas nyaris bel masuk begini, sisa bangku di barisan depan pun sudah habis saking penuhnya murid kelas ini. Untung saja tidak ada yang sampai harus lesehan di bawah. Maura menghentikan pandangannya ke arah sisa b

Hello, Memory [Part 8]

Detik berikutnya, Dewa segera membawa dirinya berenang ke tepi kembali untuk segera tersadar dari kedua mata yang dalamnya tak berdasar itu. Kepalanya menggeleng-geleng seolah mencoba mengenyahkan apa yang melintas di kepalanya. Dewa lantas tersenyum dan mengembalikan wajah jenakanya seperti semula. "Ohya?!" Dewa nampak pura-pura kaget. Telunjuk dan ibu jarinya mengusap dagunya, seolah berpikir serius. "Wah..., gue yakin kalau kita berdua bersatu, dunia ini pasti bakal penuh dengan kegelapan!" serunya mendramatisir. Lagi-lagi Maura kembali tertawa sampai rasanya otot-otot pipinya terasa pegal. Dia merasa sangat senang berteman dengan seseorang seperti Dewa. Tingkahnya yang konyol dan apa adanya adalah tipe teman yang tidak akan membosankan sepanjang masa. Dewa kemudian berdiri, sepertinya hendak masuk ke kelasnya. Maura pun ikut berdiri ketika matanya melirik jarum panjang di jam tangannya yang sebentar lagi menuju ke angka dua belas. "U

Hello, Memory [Part 7]

"Jadi gue bener, kan?" tanya Dewa lagi dengan tampang polos yang menggelikan. "Ya ya ya, gue nggak punya alasan untuk tidak membenarkan lo," jawab Maura. "Tapi sebenernya nama gue bukan cuma satu kata, kok. Di belakangnya ada nama bokap gue. Tapi dari kecil kita sepakat untuk nggak menyisipkan nama itu di setiap pendaftaran sekolah. Biar gue bisa berdiri sendiri tanpa bantuan nama itu," lanjut Maura lagi. Dewa mengangguk-angguk dengan wajah sok seriusnya. "Gitu ya? Boleh juga tuh." Lalu dia kembali bertanya, masih dengan pertanyaan konyol yang sudah jelas sekali tidak Maura tau jawabannya. "Lo tau arti nama gue, nggak?" tanyanya. "Emangnya penting?" canda Maura. Dewa tertawa kecil. "Nggak juga sih, tapi siapa tau nanti masuk di soal ujian." Maura kembali terkekeh sambil geleng-geleng kepala. Ajaib nih cowok! "Dan karena gue baik, takut lo nanti nggak bisa jawab soal ujian, makanya gue kasih

Hello, Memory [Part 6]

"Wuih keren! Kelas unggulan, dong," kata Maura berusaha memuji tulus. Cowok itu kembali mengangkat bahunya. Gerakan tubuhnya benar-benar cuek dan santai. Seolah di dunia ini hanya dialah orang satu-satunya yang tidak memiliki masalah apapun. "Apa benefitnya sih kelas unggulan? Heran gue sama sekolah-sekolah." Maura mengernyit. "Kenapa gitu?" "Rasis. Buat apa dipisah jadi kubu-kubu gitu? Sama aja bikin yang pintar makin pintar, yang bego makin makin bego," jawabnya sambil terkekeh. "Kalau semuanya dicampur bukannya jadi lebih bagus? Yang pintar jadi bantu yang kurang pintar. Iya, kan?" Sekilas Maura tersenyum. Di lubuk hatinya sebenarnya menyetujui ucapan si cowok yang pembawaannya santai ini. Tetapi, di satu sisi dia juga kurang setuju. Bukannya lingkungan penentu segalanya? Sama aja kayak kalau mau jadi orang baik, ya nggak bisa kumpul bareng sama preman, batin Maura. Namun dia memilih untuk tidak menyuarakannya. Ber

Hello, Memory [Part 5]

Keluar dari mobil Pras, Maura memberikan senyuman terpaksanya karena harus ikut bersama Pras, bukan Finda. Finda mendadak harus mencari sesuatu di tumpukan kardus dari rumah lama mereka yang sejak kemarin belum sempat dirapikan. Padahal, Maura masih dalam aksi ngambek dengan Pras. Belum lagi sebelumnya Pras benar-benar hendak turun dari mobil dan mengantarnya sampai ke dalam kelas. Takut anak kesayangannya itu kesasar, katanya. Yang bener aja. Memangnya ini di hutan rimba?! "Liat sendiri nama Adek di mading ya, cari kelas sendiri, cari bangku sendiri. Dan tetap fokus! Oke, dek? Senyum dooong," ucap Pras dengan kedipan mata dibalik kaca mobil yang dibuka hampir setengahnya. "Papa!!" seru Maura (lagi dan lagi). Pras tertawa lagi sebelum akhirnya menyuruh supir menjalankan mobil kembali. Setelah mobil Pras berlalu, Maura pun berjalan dengan santai menuju gerbang sekolahnya. Setelah berjalan kaki sekitar 300 langkah, Maura tiba di depan pintu g

Hello, Memory [Part 4]

Pagi ini Maura duduk di samping Finda dengan wajah tertekuk. Piring di atas meja berisi nasi goreng buatan Bi Kokom hanya lima suap masuk ke mulutnya. Gantinya segelas susu cokelat sudah habis dia teguk. Gadis yang pagi ini menggerai rambut hitamnya itu masih dalam aksi ngambek karna wishlistnya yang pertama gagal dia capai. Pras tetep ngotot tidak memperbolehkannya membawa motor ke sekolah. Pras justru malah menawarinya membawa mobil. Hell no!! Ma suk ke gerbang sekolah dengan Jazz merah baru hadiah ulang tahunnya kemarin agaknya terlalu mencolok untuk ukuran murid baru. Maura hanya ingin menjadi anak 'biasa' saja di kesan pertama masuk sekolah barunya. "Ayo berangkat!" Pras bangkit dari kursi sambil membawa tas kerjanya setelah menyelesaikan sarapannya. Sedangkan Maura masih bergeming. Gadis itu duduk dengan wajah tertekuk dan tangan kanan menyanggah dagu. "Adek, ayo berangkat, dek!" "Papa!!" seru Maura cepat. Pras terk

Hello, Memory [Part 3]

Bogor, 2008. Di sofa empuk depan tv berlayar 39 inch yang menayangkan serial kartun kesukaannya, Maura duduk masih dengan baju tidur dan rambut diikat asal. Cuci muka dan menyikat gigi pun belum dia lakukan. Di minggu pagi ini, Maura sengaja ingin langsung menonton Spongebob Squarepants di rumah barunya. Kemarin sore Maura, Mama dan Papanya, beserta Bi Kokom (pembantu di rumahnya) pindah ke rumah baru ini. Salah satu rumah mewah yang berada di Rancamaya. Meninggalkan kota kembang yang tanahnya sudah dia pijak sejak kecil, ke kota hujan yang asri ini. Entah apa proyek baru yang dibangun Pras sehingga membuat mereka terpaksa pindah ke sini. Tetapi Maura sama sekali tidak masalah. Di mana pun itu asal ada Mama dan Papanya dia tak akan pernah merasa keberatan. Kecuali di neraka. Ada Mama Papa disana pun gue tetep nggak mau, batinnya sambil bergidik. "Ra, nanti tolong anter Bi Kokom ke depan komplek , ya, sayang. Kasihan Bibi masih belum hafal jalan di sini, takut n

Hello, Memory [Part 2]

"Maura!" Panggilan di belakang tubuhnya membuat Maura membalikkan badannya. Sambil tersenyum, cowok yang berdiri di depannya mengulurkan tangan kanannya ke arah Maura. Di tangan kirinya, ada sebuah kotak berbungkus kertas kado berwarna pink . "Hai, Aris!" Maura menerima uluran tangan itu sambil tersenyum. "Baru dateng, ya?" Cowok berkacamata bingkai hitam itu mengangguk. Kado yang di bawanya kemudian diberikan kepada Maura. "Selamat ulang tahun, ya," ucapnya. "Itu kado spesial buat kamu." Maura menerimanya sambil mengucapkan terimakasih. Bukannya tidak peka, Maura sangat sadar jika Aris masih menyimpan perasaan untuknya. Di tatapan mata itu, Maura masih bisa menemukan cinta. Sayangnya, bagi Maura semua sudah berakhir. Cerita cinta mereka sudah ditutup. Sekarang, Aris hanya seorang teman, sama seperti temannya yang lain. Tak peduli seberapa sering Aris mencoba memenangkan hati Maura lagi, Maura tetap mengabaikanny

Hello, Memory [Part 1]

Bandung, 2008. "Satu... dua... tiga...!!!" Happy Birthday, Maura! Happy Birthday, Maura! Happy Birthday, dear Maura! Happy Birthday, to you... "Yeayyy! Tiup lilinnya, Ra!" Maura hanya mampu tersenyum sambil mengangguk. Matanya melirik ke kanan dan kiri dimana Mama dan Papanya berdiri mengapitnya. Di sekelilingnya, berkumpul teman sekolahnya yang tengah menunggu Maura meniup lilin berangka 17 itu dengan wajah berseri. Malam ini pesta ulangtahunnya yang ke-17. Tepat satu hari sebelum kepindahannya. Matanya lalu kembali beralih ke depan. Kue bertingkat tiga yang dilapisi krim strawberry itu menjulang di depannya. Kue mewah yang biasa dipajang di pesta-pesta pernikahan. Dengan krim strawberry kesukaannya yang dipesan Papanya langsung dari bakery ternama di Jakarta. " Make a wish dulu, sayang." Mamanya berbisik di telinga Maura. Dia pun mengangguk lalu memejamkan kedua matanya. Di dalam hati, merapal beberapa doa dan harapan di u

Proposal

BAB I PENDAHULUAN 1.1    Latar Belakang Masalah             Maraknya pembicaraan tentang go green , ramah lingkungan, meminimalisir kemacetan, polusi udara dan lainnya membuat sebagian masyarakat mulai sadar tentang penggunaan kendaraan pribadi. Banyak  masyarakat yang beralih menggunakan moda transformasi umum sebagai pengganti kendaraan pribadi. Dan angkutan kota (angkot) pun menjadi salah satu transportasi pilihannya. Selain dapat mengurangi kemacetan, biaya transportasi angkot terbilang cukup murah. Dibandingkan harus mengeluarkan uang bensin untuk mobil yang dikendarai seorang diri.             Namun, banyak juga masyarakat yang masih tergolong baru menggunakan angkot belum tahu angkot mana yang harus mereka tumpangi untuk sampai ke tujuan. Tidak jarang mereka harus bertanya kepada orang sekitar angkot manakah yang melintasi tujuan mereka. Dan tidak sedikit juga mereka salah menaiki angkot dan justru jadi menghambat waktu mereka. Oleh karena itu, penulis ingin membantu

Kumpulan Puisi

****Puisi**** Hai, Luka oleh Inesia Pratiwi Hai, luka... Sampai kapan kau mau menggerogoti daging hatiku? Sampai berlubang? Berdarah-darah? Bernanah? Atau bahkan sampai hatiku tak berbentuk lagi? Kau gores, lalu kau tutup kembali. Kau silet, lalu kau rapatkan kembali. Tapi kini, kau biarkan menganga lebar, tanpa mau mengobatinya lagi. Dan sepertinya sudah tak ada lagi obat yang mampu menyembuhkannya. Sebenarnya, kau pikir terbuat dari apa hatiku ini, luka? Apa salah kalau aku kini memilih pergi? Apa ada lagi yang bisa membuatku mampu bertahan? Di saat karamnya luka mencabik-cabik hatiku dengan sesukanya. Aku mau menyelamatkan hatiku darimu, luka... Meski harus meninggalkan sisa cinta yang tak tahu sampai kapan kan mampu ku bawa. Karena ku yakin, Di saat tak ada yang mampu mengobati goresan luka di hati, hanya waktu yang bisa menyembuhkannya.

Kumpulan Puisi

****Puisi**** Teruntuk Pembentuk Luka oleh Inesia Pratiwi Kamu tau apa yang membuatku tetap bertahan? Karena aku masih menaruh harapan Ketika kamu mengikis harapanku, dengan pergi ke pelukannya, bisa tolong carikan jawaban mengapa aku tetap saja dengan bodohnya bertahan? Aku pernah mencoba berhenti bertahan untuk tetap mencintai kamu Sebelum segelintir harapan indah itu datang lagi, seperti barangkali kamu masih mencintaiku Namun nyatanya, segelintir harapan itu tidak pernah terjadi Nyatanya, selama ini memang hanya saya sang berjuang sendirian

Kumpulan Puisi

****Puisi**** Annoying Boy oleh Inesia Pratiwi Tak ada pamit yang kau coba ucap ketika pergi Meninggalkanku bersama sang hitam yang membentangi langit Setapak berlalu, menangis aku sendiri Basah pipiku, menjerit aku amat pahit Aku bersimpuh di atas bumi yang mendadak terasa sepi Langit menangis, memandikanku dengan sangat perih Beribu pertanyaan menyerang diri Entah oleh siapa jawaban itu dapat aku raih Sementara kau saja telah lama pergi Tak mengacuhkan ribuan kali Kau meninggalkan sesuka hati Tapi ku takkan bisa hindari Aku cuma bisa diam Kau sakiti, kau lukai Kau cabik hatiku sampai aku mati Menjadikan aku permainanmu Tapi ku takkan bisa hindari Sekali lagi..., aku cuma bisa diam

Kumpulan Puisi

****Puisi**** Pada Dilema oleh Inesia Pratiwi Aku jatuh pada dilema Dalam dua kubang hati Semakin kelam Terlalu dalam Di mana ada makna, Untuk sekian tanya? Ketika satu tak juga cukup Dan dua justru kacau Aku jadi seperti di bui Karena tak sanggup memilih

Kumpulan Puisi

****Puisi**** Demons oleh Inesia Pratiwi Ada gelap dalam diriku yang tak seorangpun tahu juga dirimu Sinar terang di matamu memantul jadi surya untukku Ada luka dalam hatiku bernanah jijik jika kau lihat Kututup rapat dengan gelapku hingga tak ada seorangpun tahu Tak ada harapan lagi bagiku kala luka itu semakin menggerogoti tubuhku Iblis di sekitarku bernyanyi menanti kematianku yang tak lama lagi Semakin melebar luka itu semakin menggelap aku menutupi itu Kebal ku rasa, mati perasa Habis dayaku, melumpuh aku Hingga sinarmu menyoroti menyelinap dalam gelap diriku Lalu habis gelapku dilawan sinarmu Membongkar luka yang ku sembunyikan selalu Kau melihatnya, sepenuhnya kini Tapi justru tak kau hindari Dengan sabar kau obati tanpa geli Pernah sekali kutanya padamu Kau jawab luka itu bukan aib gelapmu takkan menutupi, justru memupuki tetaplah hidup agar para iblis menangis

Kumpulan Puisi

****Puisi**** Pangeran Tertolak oleh Inesia Pratiwi Wahai pangeran... Tahtamu kau jadikan kuasa Duduk di singgasana dalam istana Rupamu kau jadikan senjata Dipuja seluruh dewi, tapi dikutuk seluruh dewa Sedikit bicara tapi mampu diterima Pantas saja kau begitu dingin, karena dayang - dayang selalu mengipasimu, bukan? Kau bilang kau tak butuh kehangatan, itu sebabnya matahari pun rela meleleh karenamu Semua yang kau ingin mudah kau dapati Para dewi menunggu kau datangi Ratu singa juga bisa kau takluki Bidadari pun siap kau sandingi Kecuali satu wanita, yang takkan sudi tunduk olehmu, sekalipun kau jadi raja di negeri Yaitu... sang puteri Karena sang puteri, hanya memimpikan pangeran bekuda putih Dan itu bukanlah dirimu

Kumpulan Puisi

****Puisi**** Hadirmu Semu oleh Inesia Pratiwi Di sini sepi Hujan yang bernyanyi Saat kau pergi Aku sendiri Terpenjara memori Sedangkan kau lari Hati membeku Izinkan tuk malam ini Di sisiku Setapak berlalu Siapa yang bicara? Membisu Tanda tanya di kepala Terbangkanlah ke langit