Hello, Memory [Part 6]

"Wuih keren! Kelas unggulan, dong," kata Maura berusaha memuji tulus.
Cowok itu kembali mengangkat bahunya. Gerakan tubuhnya benar-benar cuek dan santai. Seolah di dunia ini hanya dialah orang satu-satunya yang tidak memiliki masalah apapun. "Apa benefitnya sih kelas unggulan? Heran gue sama sekolah-sekolah."
Maura mengernyit. "Kenapa gitu?"
"Rasis. Buat apa dipisah jadi kubu-kubu gitu? Sama aja bikin yang pintar makin pintar, yang bego makin makin bego," jawabnya sambil terkekeh. "Kalau semuanya dicampur bukannya jadi lebih bagus? Yang pintar jadi bantu yang kurang pintar. Iya, kan?"
Sekilas Maura tersenyum. Di lubuk hatinya sebenarnya menyetujui ucapan si cowok yang pembawaannya santai ini. Tetapi, di satu sisi dia juga kurang setuju. Bukannya lingkungan penentu segalanya? Sama aja kayak kalau mau jadi orang baik, ya nggak bisa kumpul bareng sama preman, batin Maura. Namun dia memilih untuk tidak menyuarakannya. Berdebat dengan orang yang baru dikenal rasanya agak absurd.
"Kalau gitu berarti kita sebelahan dong, ya?" kata cowok itu lagi, seakan bertanya pada dirinya sendiri.
Maura memutuskan mengangguk saja. "Iya. Salam kenal, ya!"
Cowok itu terlihat mengernyit sebentar lalu matanya melirik ke arah badge name di seragam Maura yang masih terlihat putih bersih. Tidak seperti seragam murid lain yang warnanya mulai lusuh di tahun terakhir sekolah. Seketika tawa kecilnya pun keluar. "Oh..., lo anak baru ya? Gue nggak sadar."
Sudah kuduga, batin Maura geli.
"Iya. Pindahan dari Bandung."
"Oh, bawa peyeum nggak?"
"Hah?" Maura tertawa geli.
Cowok itu tak menanggapi lagi. Dia malah mengulurkan tangan kanannya ke arah Maura yang langsung disambut Maura dengan cepat. "Salam kenal juga, Maura. Kalo nama gue ada disini," dia menunjuk badgename nya dengan tangan kiri, dimana Dewa Rama tertulis disana. "Panggil aja Dewa. Jangan pernah panggil Rama kalo lo bukan Shinta."
Maura langsung tertawa seraya mengangguk-angguk setelah melepas jabatan tangan mereka. "Nama lo berat banget."
"Daripada nama lo, cuma satu kata. Irit banget."
"Sengaja, biar orang kayak lo punya kerjaan buat komentarin nama gue."
Dewa mendengus geli. "Lo pasti tipe orang yang nggak suka di jadiin pilihan ya?"
Maura menautkan alis bingung. Kenapa ini cowok jadi out of topic?
"Nggak tuh," kilah Maura. Setengah berbohong.
"Ahhh, masa?" Dewa menaik-turunkan alis tebalnya. "Tuh buktinya nama di bagdename lo cuma ada satu kata."
Maura melirik ke arah seragamnya lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan omongan ngaco Dewa. "Apa hubungannya, Dewa?"
"Ada, lah. Lo sengaja bikin oranglain nggak punya pilihan lagi buat manggil nama lo, kan? Misalkan gue nih, nama gue kan Dewa Rama, gue bisa dipanggil Dewa atau Rama, jadi orang-orang bebas milih mau manggil gue apa. Tapi lo... lo nggak suka dipilih, makanya nama lo cuma Maura," jelas Dewa dengan mimik wajah serius dan juga konyol.
Maura semakin menautkan alisnya lebih dalam lagi, namun tak urung juga senyumnya mengembang mendengar jawaban konyol itu. Baru kali ini Maura menemukan spesies manusia yang pemikirannya sampai sejauh ini tentang namanya.
Untuk ukuran orang yang baru pertama kali bertemu dan berbincang, bagi Maura percakapan ini termasuk konyol. Tak normal seperti kebanyakan orang yang baru saling mengenal.
Dewa unik, batin Maura.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Scanner

WATTPAD STORY BY INESIAPRATIWI --- OUR HOPE

Tips Saat Kehilangan Mood Menulis