Hello, Memory [Part 1]

Bandung, 2008.
"Satu... dua... tiga...!!!"
Happy Birthday, Maura!
Happy Birthday, Maura!
Happy Birthday, dear Maura!
Happy Birthday, to you...
"Yeayyy! Tiup lilinnya, Ra!"
Maura hanya mampu tersenyum sambil mengangguk. Matanya melirik ke kanan dan kiri dimana Mama dan Papanya berdiri mengapitnya. Di sekelilingnya, berkumpul teman sekolahnya yang tengah menunggu Maura meniup lilin berangka 17 itu dengan wajah berseri.
Malam ini pesta ulangtahunnya yang ke-17. Tepat satu hari sebelum kepindahannya.
Matanya lalu kembali beralih ke depan. Kue bertingkat tiga yang dilapisi krim strawberry itu menjulang di depannya. Kue mewah yang biasa dipajang di pesta-pesta pernikahan. Dengan krim strawberry kesukaannya yang dipesan Papanya langsung dari bakery ternama di Jakarta.
"Make a wish dulu, sayang." Mamanya berbisik di telinga Maura. Dia pun mengangguk lalu memejamkan kedua matanya. Di dalam hati, merapal beberapa doa dan harapan di usia barunya.
God, please make my wish come true, batin Maura.
Pertama, wish yang pertama dan paling pertama di usia barunya tahun ini adalah kepindahannya besok ke Bogor tidak akan merubah apapun yang telah dia lewati dan rasakan selama di sini. Semoga dia tidak kehilangan apapun meskipun sudah tak berada di sini lagi. Termasuk juga, teman-temannya.
Kedua, di usia ke-17 ini, semoga Papanya sudah mau mengizinkannya membawa motor ke sekolah, seperti teman-temannya yang lain. Bukan lagi dengan mobil-mobil mewah milik Papa dan Mamanya yang setiap hari mengantarnya ke sekolah dan membuat Maura memaksa mereka untuk menurunkannya sebelum sampai di gerbang sekolah agar temannya tak ada yang melihat.
Ketiga, di sekolah barunya nanti, semoga saja dia bisa kembali ditempatkan di sekolah favorit kota tersebut. Dan masuk kelas unggulan lagi, seperti halnya di sini.
Keempat, bisa duduk satu meja dengan anak perempuan lagi yang juga akan merangkap menjadi sahabatnya. Bukan anak laki-laki yang biasanya rusuh, pengganggu dan tukang pinjam.
Kelima, jadi ketua kelas lagi. Jadi bintang kelas lagi. Nilai-nilainya sempurna dan bisa ikut kejuaraan melukis lagi.
Keenam, bisa liburan ke Bromo bersama teman-teman kelasnya setelah ujian nasional.
Terakhir, lulus tes dan melanjutkan studi di Nanyang Academic of Fine Arts, Singapore.
Cukup banyak wishlist nya kali ini. Ada 7 wishlist di usia 17 tahun pada tanggal 17 bulan ke-7. Maura sengaja menyamakannya agar nomor-nomor cantik itu mudah diingat olehnya kelak. Saat dirinya menua dan hanya memori-memori itu yang tersisa di kepalanya.
"Yeayyyyy!"
Seruan teman-temannya terdengar ketika Maura selesai meniup lilin. Mereka bertepuk tangan bersamaan dengan diterbangkannya 17 balon di dekat kolam renang ke langit. 17 balon yang 7 diantaranya berisi kertas-kertas yang menjadi wishlist Maura yang sudah dia tulis sebelumnya.
Harapan-harapan itu diterbangkan ke langit. Untuk bisa sampai ke ujung angkasa lalu bertemu dengan Tuhan. Menyampaikan ketujuh permohonannya langsung kepada Tuhan. Supaya Tuhan bersedia mewujudkan keinginannya itu.
Pesta malam ini sengaja dibuat mewah. Papanya yang mendesain belakang rumah menjadi cantik seperti sekarang. Padahal, Maura tidak pernah menginginkan yang seperti ini. Dia tidak ingin terlihat terlalu mencolok di depan temannya, yang tadi langsung terkaget-kaget ketika memasuki rumah Maura yang sangat megah.
Selama berteman, Maura tidak pernah menyombongkan apa yang dia punya. Dia selalu terlihat seperti gadis biasa yang lahir di keluarga biasa. Bergaul dengan orang-orang biasa tanpa pilih-pilih.
Makanya teman-temannya langsung kaget ketika mengetahui kalau ternyata Maura bukan berasal dari keluarga biasa. Papanya yang seorang arsitek kelas atas dan Mamanya yang seorang guru musik para calon bintang, baru sekarang ini diketahui oleh teman-temannya. Prasetyo Ari dan Finda, jika mencari kedua nama tersebut di internet maka fotonya akan langsung muncul bersama orang-orang sukses lainnya.
"Ra, aku nggak nyangka rumah kamu segede ini, lho. Kayak istana!" kata salah satu teman perempuannya tadi dengan logat sunda yang kental dan mata berbinar-binar mengelilingi tiap sudut rumah Maura.
"Bukan rumah aku kok. Rumah Papa aku."
"Atuh sama aja kan ini rumah kamu juga, Ra."
Maura tersenyum. "Yaudah, lagian besar kecilnya rumah kan nggak ngaruh juga, yang penting berapa besar kebahagiaan yang ada didalamnya."
"Ah, mana ada. Kalau rumahnya sempit dan nggak ada AC juga nggak mungkin orang di dalamnya bisa ngeluarin energi untuk ketawa-ketawa tanpa kegerahan, kan? Nggak mungkin juga anak-anaknya harus sedih karna nggak punya air untuk mandi kalau rumahnya ada kolam renangnya kayak begini."
"Masa? Kok kamu bisa seyakin itu?"
Teman perempuannya itu berdecak sambil mengibaskan tangannya ke udara. "Yaaa..., kamu sih nggak pernah ngerasain ada di posisi itu. Setiap orang yang berkecukupan kan memang begitu, pasti nggak pernah percaya dengan semua penderitaan yang orang serba kekurangan rasakan. Mereka selalu berbicara baik tentang kehidupan karena yang mereka rasakan selama hidup memang cuma yang enak-enak aja. Padahal, bagi orang yang kekurangan, hidup nggak sebaik apa yang para orang kaya ucapkan."
"Tapi aku nggak begitu!" bantah Maura karena merasa tersindir.
Maura memang bukan seperti kebanyakan remaja yang lain. Dia berbeda. Dia punya prinsip hidup. Tak mudah tergoyahkan.
Kebanyakan, remaja seusianya mungkin sedang sibuk menikmati masa muda yang katanya hanya terjadi satu kali. Masa putih abu-abu yang katanya setelah lulus nanti bakal bikin kangen. Bahkan terkadang saking senang-senangnya sampai lupa pada tujuan utama; lupa menjadi diri sendiri. Akibat terlalu sibuk menjadi pribadi yang harus menikmati masa remaja ini.
Tetapi Maura bisa membuktikan bahwa dia bukan termasuk ke dalam remaja kebanyakan itu. Tidak suka neko-neko, tidak suka menyombongkan diri, tidak suka membuang waktu, dan tidak suka menganggap rendah oranglain.
Lalu bukan berarti dia remaja pendiam, berkacamata tebal, berkepang dua yang kalau jalan selalu menunduk. Bukan! Dari penampilannya, dia justru terlihat sangat menawan. Wajahnya cantik, tubuhnya semampai, kulitnya putih, rambutnya indah. Kemanapun dia berjalan di area sekolah, banyak yang akan menyapanya. Karena dia adalah gadis yang mudah bergaul dan mau berteman dengan siapa saja.
Dibanding remaja yang lain, Maura lebih bisa berkonsisten menjadi dirinya sendiri, dan tidak mudah terbawa arus negatif sibuk-sibuknya-nikmatin-masa-remaja itu. Untuknya, menjadi diri sendiri adalah satu-satunya yang bisa membuatnya merasa nyaman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Scanner

WATTPAD STORY BY INESIAPRATIWI --- OUR HOPE

SMKN 1 Kota Bekasi => Teknik Komputer dan Jaringan