Hello, Memory [Part 5]
Keluar dari mobil Pras,
Maura memberikan senyuman terpaksanya karena harus ikut bersama Pras,
bukan Finda. Finda mendadak harus mencari sesuatu di tumpukan kardus
dari rumah lama mereka yang sejak kemarin belum sempat dirapikan.
Padahal, Maura masih dalam aksi ngambek dengan Pras.
Belum lagi sebelumnya
Pras benar-benar hendak turun dari mobil dan mengantarnya sampai ke
dalam kelas. Takut anak kesayangannya itu kesasar, katanya.
Yang bener aja. Memangnya ini di hutan rimba?!
"Liat sendiri nama Adek
di mading ya, cari kelas sendiri, cari bangku sendiri. Dan tetap fokus!
Oke, dek? Senyum dooong," ucap Pras dengan kedipan mata dibalik kaca
mobil yang dibuka hampir setengahnya.
"Papa!!" seru Maura (lagi dan lagi).
Pras tertawa lagi sebelum akhirnya menyuruh supir menjalankan mobil kembali.
Setelah mobil Pras
berlalu, Maura pun berjalan dengan santai menuju gerbang sekolahnya.
Setelah berjalan kaki sekitar 300 langkah, Maura tiba di depan pintu
gerbang sekolahnya. Layaknya murid lama yang memang sudah biasa dengan
lingkungan sekolah ini, Maura berjalan penuh percaya diri. Sebelumnya
dia dan Finda memang sudah pernah berkeliling di sekolah ini lebih dulu,
oleh karena itu hari ini dia sudah tidak perlu lagi celingak-celinguk
mencari dimana mading yang menempel daftar kelas baru untuk tahun ajaran
baru ini.
Setelah berhasil
berdesakan di depan mading demi melihat di mana kelas yang terdapat
namanya di dalamnya, Maura duduk di bangku panjang koridor sambil
memperhatikan rintikan hujan yang belum lama ini jatuh beramai-ramai di
lapangan sekolah.
Pagi ini diumumkan tidak
akan ada upacara, dan itu membuat Maura kecewa. Padahal dia sangat suka
mendengar derap langkah kaki pasukan paskibra ketika membuat formasi
untuk menaikkan bendera. Serempak dan merdu di dengar.
Namun di samping kekecewaannya itu, Maura juga sedang kesal. Wishlisnya yang kedua lagi-lagi gagal. Maura gagal masuk di kelas unggulan sekolah ini.
Entah apa ada yang salah
dengan hasil tesnya atau apa ada yang salah dengan sekolah ini, padahal
di Bandung dulu Maura selalu mendapat peringkat satu di kelas unggulan.
Selalu.
Ah, ya sudahlah,
batinnya menyerah. Lagipula, langit tak perlu menjelaskan kalau ia
tinggi, kan? Tanpa diberitahu pun semua orang tau langit itu tinggi.
"Dapet di kelas mana?"
Maura refleks menolehkan
kepalanya ke samping, ke arah seorang cowok dengan mata jenaka berwarna
cokelat bening dan senyum di bibir tipis kehitamannya yang langsung
diberi nilai 80 untuk penampilannya oleh Maura. Cowok itu duduk di
sampingnya, yang padahal Maura yakin tadi dia hanya duduk sendirian di
bangku ini.
Kapan dia dateng?
"Lo ngomong sama gue?" Maura menunjuk wajahnya sendiri.
Cowok itu tersenyum geli lalu mengangkat bahunya. "Itu juga kalau lo mau diajak ngomong, sih."
Maura ikutan mengangkat bahunya. "Kalau emang ngomong sama gue, gue dapet di 12 IPA 2. Kalau lo?"
"12 IPA 1," jawab cowok itu santai.
Astaga, itu kelas unggulan yang gue pengin! jerit hati Maura.
Komentar
Posting Komentar