Hello, Memory [Part 2]
"Maura!"
Panggilan di belakang
tubuhnya membuat Maura membalikkan badannya. Sambil tersenyum, cowok
yang berdiri di depannya mengulurkan tangan kanannya ke arah Maura. Di
tangan kirinya, ada sebuah kotak berbungkus kertas kado berwarna pink.
"Hai, Aris!" Maura menerima uluran tangan itu sambil tersenyum. "Baru dateng, ya?"
Cowok berkacamata
bingkai hitam itu mengangguk. Kado yang di bawanya kemudian diberikan
kepada Maura. "Selamat ulang tahun, ya," ucapnya. "Itu kado spesial buat
kamu."
Maura menerimanya sambil
mengucapkan terimakasih. Bukannya tidak peka, Maura sangat sadar jika
Aris masih menyimpan perasaan untuknya. Di tatapan mata itu, Maura masih
bisa menemukan cinta.
Sayangnya, bagi Maura
semua sudah berakhir. Cerita cinta mereka sudah ditutup. Sekarang, Aris
hanya seorang teman, sama seperti temannya yang lain. Tak peduli
seberapa sering Aris mencoba memenangkan hati Maura lagi, Maura tetap
mengabaikannya.
Selama ini, Maura tidak
pernah pusing memikirkan soal percintaan. Itu karena dia sudah cukup
dengan cinta. Selama 17 tahun dia hidup, dia selalu di kelilingi cinta.
Semua orang mencintainya, semua orang memujanya, dan semua orang mau
bersamanya.
Kecuali..., orangtuanya.
Maksudnya, orangtua kandungnya.
Hidup di panti asuhan
selama tujuh bulan sejak bayi tak mampu membuat Maura mengingat dimana
dia lahir atau bahkan siapa wanita yang melahirkannya. Maura hanya
mengenal nama Finda sebagai Mamanya, dan Pras sebagai Papanya. Mereka
lah dua orang yang membawanya keluar dari panti itu dan menjadikannya
bagian dari keluarga mereka. Mereka juga yang memberikannya nama Maura
Prasetyo. Menggunakan nama Pras di belakang namanya, sebagaimana Maura
telah dianggap sebagai anak kandung mereka sendiri.
Yang padahal, orangtua kandungnya sendiri saja tidak mau menganggapnya.
But, who's care?
Maura kini sudah memiliki hidup yang sempurna, di tengah-tengah keluarga
sempurna, dengan tau atau tidak tau nya dia tentang identitas orangtua
kandungnya. It's doesn't matter anymore.
Maura tidak pernah
sedih. Dia tidak pernah seperti anak-anak di film-film yang menuntut
ingin tahu siapa orangtuanya dan mencari dimana orangtuanya ketika sudah
besar. Dulu mereka yang membuangnya, kan? Mereka yang tidak
menginginkan kehadirannya di dunia.
Jadi sekalipun Maura berhasil menemukan mereka, toh mereka tetap tidak akan peduli masihkah Maura hidup atau tidak.
Menjadi seperti ini saja
sudah cukup untuknya. Cukup ada Pras dan Finda. Tanpa peduli dia darah
daging mereka atau bukan. Yang penting sudah pasti dia adalah hidup dan
mati mereka.
"Kamu besok jadi pindah?" Aris bertanya lagi.
Maura mengangguk mantap. "Ini jadi malam terakhir gue di sini."
"Ah, cuma Bogor, deket
kok dari sini. Nanti aku bakal sering main ke sana deh," kata Aris
sambil terkekeh seolah mencoba menutupi kesedihan yang terpancar di
matanya. Jika dengan sikap acuh tak acuh Maura selama ini saja sudah
membuatnya kesulitan meraih Maura kembali, bagaimana jika harus
terpisah, semakin sulit kesempatan itu Aris dapatkan kembali.
"Sok atuh, asal nggak minta dianter pulang aja."
Aris tertawa, menghibur
dirinya sendiri. Tangannya lantas refleks menepuk lembut kepala Maura.
Maura pun tak sempat untuk menghindar. "Ra, kamu tau aku selalu ada di
sini buat kamu, kan? Aku akan selalu ada di sini kalau nanti kamu mau
kembali," ucap Aris dengan nada dan tatapan mata lembut. Meskipun
suaranya terkalahkan dengan kencangnya musik yang berdentum, tetapi
Maura tetap masih bisa mendengarnya dengan jelas.
"Hmm..." Maura
memundurkan tubuhnya sehingga tangan Aris yang berada di kepalanya jatuh
ke udara. Dia lalu mencoba tersenyum meskipun terlihat agak terpaksa.
"Kayaknya gue nggak mungkin kembali ke sini, deh," ucapnya lalu kembali
memundurkan langkahnya.
Mimik wajah Aris kembali muram.
"Goodbye, Aris!
Gue nemuin yang lain dulu, ya." Tanpa menunggu balasan dari Aris lagi,
Maura segera membalikkan tubuhnya dengan cepat dan berjalan meninggalkan
Aris.
Di tempatnya berdiri,
Aris semakin menekuk wajahnya karena kecewa lagi-lagi mendapat penolakan
dari Maura di kesempatan terakhirnya malam ini.
Komentar
Posting Komentar